Pakar hukum internasional pada Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, menilai protes Tiongkok pada Jumat lalu adalah ungkapan ketidakrelaan atas berkurangnya kekuatan klaim negara itu atas wilayah yang dilingkupi 'sembilan garis putus-putus' (nine dash line) yang mereka buat.
Menurut Hikmahanto, protes cukup keras yang disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Geng Shuang, tidak perlu ditanggapi karena Indonesia, termasuk negara yang tidak mengakui wilayah yang diklaim Tiongkok di sana.Agen Casino Terbaik
"Dengan China (Tiongkok), kita tentu tidak akan lakukan perundingan karena kita tidak mengakui klaim sembilan garis putus-putusnya tersebut. Kalau ada protes dari China, hal tersebut wajar dan pemerintah tidak perlu meresponsnya secara serius," ujar Hikmahanto kepada VIVA.co.id pada Senin, 17 Juli 2017.Agen Poker Indonesia Terbesar
Keputusan yang diumumkan di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada pekan lalu, menurut Hikmahanto, hal yang memang perlu dilakukan pemerintah untuk menegaskan kedaulatan wilayah NKRI. Hal itu dikarenakan keputusan kini merefleksikan batas maritim Indonesia yang telah disepakati dengan negara-negara tetangga.
Selain itu, Hikmahanto berpendapat, keputusan kini sekaligus lebih merefleksikan keputusan hakim internasional terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atas sengketa batas wilayah antara Tiongkok dan Filipina di sana.
Kesempatan perundingan
Menurut Hikmahanto, keputusan hanya memiliki potensi dampak negatif berupa reaksi keberatan dari negara-negara lain yang memiliki pandangan berbeda. Meski demikian, dia mengatakan, adanya keberatan justru akan membuka kesempatan perundingan antara negara-negara itu dengan Indonesia.
"Dengan peta baru ini pasti akan ada keberatan dari negara yang belum membuat kesepakatan dengan Indonesia. Itu yang akan memicu mereka melakukan perundingan," ujar Hikmahanto.
Tiongkok memprotes keputusan Indonesia yang mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Pemerintah Negeri Tirai Bambu itu menyampaikan harapannya supaya Indonesia membuka kemungkinan berunding untuk menciptakan kondisi yang sama-sama menguntungkan.
"Langkah pergantian nama itu tidak masuk akal dan tidak selaras dengan upaya standarisasi mengenai penyebutan wilayah internasional. Kami berharap agar negara relevan di kawasan mampu berkolaborasi dengan China untuk tujuan bersama serta situasi di kawasan Laut China Selatan," ujar Geng Shuang, Jumat, 14 Juli 2017, seperti dikutip dari CNN.
0 komentar:
Posting Komentar