Sabtu, 22 Oktober 2016

18:57
Julukan Kota Metropolitan Bagi Jakarta Memang Tak Salah 

 

Julukan Kota Metropolitan bagi Jakarta memang tak salah.  Geliat kehidupan tak pernah surut meski terang sudah berganti gelap.

Mata Lelaki - Kala itu, matahari sudah jauh terbenam. Pukul sebelas Kamis malam tepatnya. Namun, bukan Jakarta namanya jika sunyi senyap. 

Saya berada di sebuah mobil mewah bersama seorang teman, Roni (bukan nama sebenarnya), seorang pengusaha. Ya, kami memang berjanji untuk menyusuri dan menikmati malam di Jakarta.

"Di Jakarta itu banyak hiburannya. Esek-eseklah. Ntar gue tunjukin tempat favorit gue. Sekarang kita muter-muter dulu aja," kata lajang berusia 30 tahun sambil meng-gas kendaraannya.

Sepanjang dalam perjalanan, Roni bercerita banyak seputar gemerlap ibu kota. Ia mengaku sudah tiga tahun larut dalam dunia malam ibukota. Tak tanggung-tanggung, puluhan juta ia habiskan dalam semalam.

"Gue udah pernah jajal semua. Bisa bikin bangkrut. Boleh percaya atau enggak, gue pernah menghabiskan Rp 30 juta semalam untuk entertain seperti itu," ungkapnya.

Ia pun bercerita, awal perkenalannya dengan kehidupan malam di Jakarta. Awalnya hanya iseng-iseng mengikuti sebuah forum di dunia maya. Rasa ingin tahu membuat Roni menelusuri lebih jauh dunia  penuh hingar bingar itu.

"Awalnya sih gue cuma iseng-iseng ikut forum di internet. Tapi keasyikan. Jadi terus deh," sambungnya.

Dengan fasih, lelaki bertubuh besar ini menjelaskan kehidupan malam di Jakarta itu terbagi dalam beberapa ketegori. Jakarta Barat dan Jakarta Pusat identik dengan klub dan spa plus-plus. Lain lagi di daerah selatan. Sasaran pekerja seks komersial (PSK) di wilayah itu ekspatriat. Mereka lebih sering melayani di apartemen, hotel bahkan kos-kosan.

"Tarifnya agak mahal tuh, sekitar 500-an," terang dia.

Khusus Jakarta Barat, berbagai level PSK bisa ditemui. Dari yang ecek-ecek hingga kakap, seperti PSK asal China (cungkok), Thailand, Uzbeskistan, Spanyol dan  Latin. "Tarif untuk PSK internasional mahal bos. Kisaran Rp 1,5 juta - Rp 3juta untuk short time," jelasnya sambil tersenyum.

Tetapi, mereka yang berdompet tipis pun tetap dapat menikmati kesenangan sesaat itu."Di Jakbar juga banyak PSK pinggir jalan. Mereka dijaga  preman," ungkapnya sambil tertawa.

Dia menambahkan, para PSK di jalanan banyak berasal dari Indramayu, Jawa Barat.  "Ironisnya, orang tua para  PSK itu merestui dan mendukung pekerjaan anak-anaknya. Gila yah," papar Roni.

Hanya saja, kesehatan dan kebersihan PSK jalanan tidak terjamin. Jauh berbeda dengan PSK dalam klub atau spa. "Mereka itu lebih bersih. Ada kalanya mereka  memeriksakan kesehatan ke dokter. Mereka juga tinggal di mess. Dan gak boleh berkeliaran."

Ia pun menambahkan, kebanyakan PSK punya banyak hutang sama Mami. Jadi, mereka harus tinggal di mess sampai hutang mereka lunas.

Lain lagi dengan PSK yang kerap mangkal di luar klub. Mereka adalah orang-orang buangan. Kebanyakan, para PSK itu telah termakan usia dan tak laku di  klub."Mereka kalau sudah gak laku juga ditendang sama mami. Akhirnya, mereka mangkal di luar klub, nurunin harga," jelasnya.

Klub Favorit Roni
Laju kendaraan pun terhenti, saat  kami tiba di tempat Roni, sebuah hotel mewah di Jakarta Barat. "Di sini lebih murah dari tempat-tempat lain," cetusnya kepada Mata Lelaki.

Begitu tiba di depan pintu masuk, beberapa petugas keamanan segera menghampiri Roni.  Bukan hendak memeriksa atau menggeledah,  pria-pria berbadan  kekar itu justru memberikan sambutan hangat kepada Roni. Mereka tampak akrab.

"Ayo bos langsung masuk aja," kata seorang petugas berseragam safari itu.

Di dalam klub, suasana sangat bingar. Puluhan wanita seksi berpakaian serba minim warna merah dan biru berlalu-lalang tanpa canggung.

Roni melangkah ke sudut sebelah kanan. Ia langsung disambut senyum seorang mami berparas manis berambut pendek se-leher. "Ada Sasa (bukan nama sebenarnya) di  sini. Katanya Mas Roni kangen sama Sasa," ujarnya.

Tanpa ragu, mami menyorotkan lampu laser warna hijau ke arah Sasa yang sedang duduk manis di sofa panjang bersama puluhan kawanannya. Sasa yang melihat  sorotan laser langsung beranjak dari tempat duduknya.

Sasa, adalah ABG 16 tahun asal Bandung. Ia sangat lincah dan supel. "Aku di sini baru dua bulan mas. Pergi dari Bandung untuk cari uang banyak aja," ungkap gadis  berkawat gigi itu.

Dalam semalam, Sasa mengaku mampu melayani 10 tamu. Ia mendapat bayaran sekitar Rp300 ribu per jamnya. "Aku ditargetin sama Mami. Pokoknya dari jam tiga sore  sampai jam tiga pagi targetnya 10 tamu," jelasnya.

Namun, gadis perokok itu menolak jika diharuskan menari striptis. "Nari, no way ah. Uangnya kecil. Sekali nge-dance cuma dapet Rp300 ribu doang," ujarnya.

Lagi pula, lanjutnya, nari striptis risikonya banyak. Kalau ada razia pasti dijaring. "Kemarin saja, polisi tangkap empat dancer. Tapi akhirnya sih ditebus juga sama koordinator dancer. Jumlah tebusannya mahal," terang dara berponi itu.

Tak terasa hari semakin larut. Para pengunjung pun semakin menumpuk. Di saat yang bersamaan belasan penari super seksi keluar dari sarangnya. Aksi mereka di lantai dan tiang khusus  sungguh mempesona. Erotis. Membuat para pria berkedip.

Aksi mereka membuat para lelaki penikmat hiburan malam tak berkedip sedetik pun. Mereka terpesona dan tergoda.

"Penari kayak gini juga punya trik khusus bos. Incerannya om-om sama laki-laki polos. Sekali terjebak, pria-pria apes itu harus bayar 3 loki minuman Rp100 ribu," kata Roni sambil menunjuk pria paruh baya yang terjebak goyangan maut penari seksi.

Dunia malam memang penuh sensasi dan fantasi yang selama ini tertanam di dalam benak. Karena itu, bisnis hiburan malam tak akan pernah mati.

"Bisnis hiburan kaya gini yang mengelola mafia-mafia yang sama. Gak gampang untuk bisa bikin usaha hiburan macam ini kalau gak punya jaringan ke mafia," Roni mengakhiri.

Dan, malam pun kian larut di surga sesaat ini... Klik Disini



0 komentar:

Posting Komentar